Kematian merupakan kejadian yang sulit diterima oleh siapapun. Saya berani menjamin, orang paling waras se-dunia, akan mengalami hambatan dalam memprosesnya. Kematian dianggap sebagai tragedi kehidupan bukanlah sebutan berlebihan. Hidup menjadi lain bagi yang ditinggalkan. Tentu saja dalam perspektif muram. Karena mereka mengalami duka.
Duka asalnya dari istilah dukkha. Serapan kata bahasa Sansekerta. Punya arti penderitaan, bisa juga kesedihan. KBBI pun mengartikan duka sebagai susah hati dan kesedihan. Sampai sini, ada dua kata kunci yang penting, yaitu penderitaan dan masalah emosi, khususnya kesedihan. Saya coba bahas pelan-pelan.
Penderitaan yang saya ketahui merupakan salah satu dari konsep dasar yang digunakan untuk memahami emosi. Dari penderitaan, emosi yang pertama kali muncul adalah perasaan terbebani akibat timbulnya tekanan dalam diri. Tekanan bisa dipahami sebagai suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan berada di luar kemampuan untuk menerimanya. Ketika mendapatkan tekanan, ada yang langsung merespon, ada pula yang terlambat, seperti saya.
Maksudnya begini, ketika bapak dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit, saya segera melakukan hal-hal pragmatis, seperti menelepon tetangga agar membantu menyebarkan kabar duka di lingkungan, dan lain sebagainya, di saat ibu dan kakak perempuan sibuk menangis. Saat saya melakukan hal-hal tersebut, biasa saja. Nggak sedih atau apa. Pada mulanya, saya berasumsi perihal hubungan antara saya dengan bapak. Dibilang dekat, ya nggak, tapi dibilang jauh, ya nggak bisa. Barangkali itu yang menyebabkan saya tidak merasakan kesedihan mendalam daripada dua perempuan di dekat saya waktu itu.
Nah, ketika urusan selesai, saya menghubungi seorang sahabat. Kondisi diri menjadi tak enak. Seakan-akan diserang gelombang emosi tanpa ampun, dan sialnya, tertahan di dada. Ketika telepon diangkat, saya sulit berkata. Kata, kata, kata, mengapa menjadi susah dikeluarkan sekarang? Padahal manusia di ujung sana sudah beberapa kali berucap, “Halo”, “Ada apa, Men?”, “Men, halo?”
Semakin lama, emosi yang sempat tertahan, memaksa keluar. Ada tanggul yang akan jebol dalam waktu dekat. Dada semakin sesak. Apalagi ketika mulut berucap, “Bokap gua meninggal, Men.”, di saat pikiran mengulang akan janji, harapan, rencana yang seharusnya terwujud dengan bapak di masa mendatang, sudah terampas tak tersisa. Air mata mengalir tanpa henti. Tak lupa berkata dalam batin, “Dasar! Katanya mau melakukan ini-itu bersama, kok malah pergi lebih dulu?” Untuk pertama kalinya, saya berkenalan dengan duka akibat ditinggal mati.
Secara teori, kesedihan terjadi ketika mendapatkan sesuatu yang tak diharapkan, dan bagi yang merasakannya seakan-akan tidak punya kekuatan untuk mengubah kenyataan yang terjadi. Segala sesuatu yang ingin saya lakukan dengan bapak, sama sekali tidak bisa dilaksanakan. Ternyata, ketika seseorang tidak mampu mengatasi duka dengan baik, akan menghadirkan masalah lain.
Contoh termudah, kesedihan sangat mampu mengubah seseorang dalam memandang dunia. Dunia yang dimaksud bukan berarti bumi atau sejenisnya, tetapi mengarah pada dunia seseorang yang hatinya sedang susah. Saya melihat suasana agak muram, timbul rasa nyeri terutama di belakang tubuh dan pikiran dan emosi adanya negatif terus. Sekitar enam bulan setelahnya, tidak hanya kesedihan tetapi juga ketakutan mulai berperan.
Ketakutan merupakan respon alamiah ketika seseorang merasa terancam. Beda dengan kecemasan, objeknya tidak jelas. Sementara ketakutan selalu jelas objeknya. Mendapatkan kejadian ditinggal mati bapak, saya menjadi takut ditinggalkan orang-orang sekitar. Kemudian, berlanjut pada hilangnya fokus untuk menjalani hidup, sehingga sulit menentukan prioritas.
Pada masa selanjutnya, saya baru memahami sebabnya, bahwa saya masih kesulitan menerima fakta kalau bapak sudah berstatus almarhum, lantaran belum mampu meredakan gejolak emosi dan pikiran yang tak karuan setelah mendapatkan situasi yang mampu membuat diri terkejut. Rupanya, tabah dan ikhlas betul-betul sulit.
Kemudian, ada suatu fase saya memprotes keadaan. Saya pikir, orang-orang yang pernah mengalami duka akibat ditinggal mati, pernah menghadapi fase ini. Standar protesnya, “mengapa saya”, “mengapa dia yang harus meninggal, bukannya orang lain”, dan seterusnya yang kira-kira punya inti yang sama. Meskipun aksi protes sebetulnya wujud dari kerinduan akan sosok yang telah tiada, duka, tidak hanya mengundang kesedihan dan ketakutan, tetapi juga kemarahan.
Emosi marah, mirip dengan kesedihan: ada sesuatu yang tidak berjalan dengan semestinya. Bedanya, kemarahan muncul saat seseorang menolak menerima fakta, yang dalam kasus ini adalah kematian, tetapi pada saat bersamaan, bersikeras untuk mengubah keadaan. Artinya, pada tahap ini, mereka sebetulnya sudah mau meninggalkan masa duka. Hanya saja, masih sulit menerima realita. Terlebih, serangan rindu bisa datang begitu saja. Inilah yang menyebabkan mereka menjadi sulit untuk melangkah. Jangankan berbicara masa depan, pada masa kini pun, mengalami hambatan. Barangkali bisa diistilahkan dengan kalimat, ingin melangkah tetapi kaki terjerat erat.
Tentu saja fase penuh kemuraman ini ada ujungnya, yaitu putus asa. Ini adalah tahapan disaat seseorang sudah menerima kondisi bahwa sosok tersebut telah pergi selamanya. Secara emosi, perlahan mau menerima. Kemarahan mulai hilang. Ketakutan ikut lenyap. Namun kesedihan tetap bertahan. Hidup tanpa sosok yang telah tiada masih dianggap sulit. Biar begitu, selangkah demi selangkah, mulai berani mengatur hidup guna melanjutkan kehidupan meski masih membawa kesedihan.
Pertanyaannya, mampukah duka akibat kematian seseorang betul-betul lenyap?
Di awal-awal paragraf, saya sempat menyinggung konsep yang ada kaitannya dengan emosi. Konsep pertama adalah penderitaan yang sudah saya jabarkan. Konsep kedua, disebut kesenangan. Jika penderitaan memunculkan perasaan terbebani, maka kesenangan menghadirkan kesanggupan. Darimana perasaan sanggup ini muncul dalam diri saya?
Sebetulnya saya mendapatkannya dari kejadian aneh. Atau sebetulnya sebuah peristiwa biasa tetapi pikiran saya yang begitu. Dua tahun lalu, tepatnya di pertengahan tahun, hadir anggota keluarga baru. Saya tertawa pelan ketika memandang manusia kecil yang kira-kira seukuran botol sirup. “Bisa hidup nggak ya dia?” Itulah yang terucap. Terlebih memang proses kelahirannya agak dramatis. “Oh, hidup. Buktinya masih bernapas.”
Disaat kejadian kelahiran, otak malah semakin sibuk menarik pikiran-pikiran tentang kematian. Tentu saja membuat saya terkejut bukan main. Pada mulanya, saya berusaha sekuat mungkin mengusir pemikiran tersebut. Namun, semakin berusaha, yang ada malah semakin menguat.
Pada akhirnya, saya biarkan sambil menikmati kejadian baru dalam kehidupan saya. Kemudian, berkata dalam hati, “Lihat dirinya, masih terlalu kecil dan baru memulai kehidupan di dunia. Hidupnya masih panjang, sementara saya sudah menjalani selama dua puluhan.”
Seketika itu juga saya menyadari bahwa waktu yang hilang tak akan pernah kembali. Segala yang terjadi di masa yang telah mati, sekarang hanya berupa kenangan. Saya pun memutuskan untuk tidak mau lagi menghabisi hidup ditekan kenangan menyakitkan. Selalu ada kesempatan untuk membebaskan diri dari hal-hal yang menjerat kita. Pilihannya, mau diambil atau tidak. Saya memutuskan mengambilnya.
Lagipula, saya sudah terlalu lama disetir oleh duka akibat kehilangan sosok bapak. Sampai-sampai melupakan siapa-siapa saja yang masih ada disekitar saya. Rupanya masih banyak yang hidup daripada yang tiada. Saya betul-betul melupakan hal ini. Timbul keinginan lain.
Di masa yang tersisa, saya ingin menghabiskan sebagian besar waktu dengan mengisi kesenangan lebih banyak, ditujukan kepada mereka yang masih hidup. Karena hidup bukanlah soal seberapa lama seseorang menjalaninya, tetapi bagaimana menjalankan kehidupan itu sendiri. Jika saya menginginkan kehidupan menyenangkan, maka, saya harus lebih banyak mengisi kehidupan dengan kesenangan, bukan kesedihan.
Akhirnya, saya mulai berdamai dengan masa lalu, dengan duka. Dan, perasaan sanggup menjalani hidup tanpa bapak akhirnya hadir. Perang dengan duka selama tujuh tahun pun berakhir. Hidup saya menjadi lebih ringan, menjadi lebih menyenangkan.