Apakah lulus kuliah harus 4 tahun?
Beberapa waktu lalu saat berkesempatan diundang menjadi pembicara seminar di sebuah kampus, salah satu topik yang banyak direquest adalah seputar timing kelulusan kuliah. Dari waktu ke waktu selalu ada kekhawatiran serupa yang diungkapkan ke saya oleh adik-adik yang berusia lebih muda yang masih mengenyam masa pendidikan. Hal ini mereka sampaikan baik secara langsung ataupun via akun media sosial.
Pattern yang seringkali terjadi salah satunya adalah tahun terakhir masa SMA yang belum memutuskan ingin mengambil jurusan apa, atau tahun-tahun terakhir masa kuliah yang bingung akan meniti karir lewat jalur mana. Pada masa orang tua saya (saat ini mereka berusia 60 tahun), jurusan-jurusan favorit nampak jelas; kedokteran, akuntansi, hukum, dll. Menuju ke zaman saya (saya berusia awal 30an), jurusan dan fakultas lainnya nampak semakin meningkat pamornya seperti hubungan internasional, fikom jurnalistik, psikologi, dll. Namun kami para millennial (kelahiran 1981–1996) yang juga disebut Generation Y ironisnya juga mulai banyak mempertanyakan banyak sekali "why?", haha.
Hal ini yang mungkin saja jadi salah satu penyebab mengapa generasi saya semakin banyak yang berpindah jurusan, ataupun bekerja tidak sesuai dengan jurusannya setelah lulus kuliah. Menariknya, zaman bergulir dengan cepat sekali. Tanpa disadari dunia semakin terdigitalisasi. Muncul berbagai kebutuhan baru yang disertai demand dengan soft skill tertentu. Hal ini memunculkan beragam job desc baru dan tugas yang lebih spesifik―melahirkan berbagai profesi baru yang orang tua kita belum pernah dengar sebelumnya. Dengan adanya demand, maka lembaga pendidikan sebagai provider pun ikut memperluas cakupan dunia pendidikan dan mengakibatkan bermunculannya jurusan-jurusan baru dan meningkatnya pamor dari jurusan yang sebelumnya tidak begitu diminati. Contohnya adalah jurusan DKV atau Desain Komunikasi Visual, juga advertising. Tindak lanjut bagi Generation Z bahkan sudah mulai bermunculan seperti adanya sekolah yang menerapkan kurikulum gaming untuk mempersiapkan murid yang memiliki minat terhadap Esports, hingga sekolah untuk menjadi Youtuber yang kini sudah ada di Jepang.
Saya menemukan banyaknya ketersediaan pilihan dan jalur yang spesifik ini juga memiliki efek samping tersendiri bagi generasi adik-adik saya; yaitu tekanan yang lebih besar untuk tidak salah memilih atau fucked up. Bagi mereka yang memiliki orang tua yang berkecukupan secara materi, seringkali ada tekanan untuk dapat sukses juga atau menyamai pencapaian finansial dari orang tua mereka. Namun pergerakan zaman justru mendorong perasaan mereka ke arah yang berbeda; yaitu menumpuk pengalaman dan mengeksplorasi dunia dengan segala keragamannya. Banyak dari mereka yang tidak ingin merasa ‘terperangkap’ dan memperoleh kebebasan untuk mencoba berbagai hal dan menjalani hidup yang dianggap sebagai ‘benar-benar hidup’, guna menemukan makna-makna kehidupan dan diri mereka sendiri; sebuah perjalanan dan pencarian akan eksistensi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan saat saya melihat ada cukup banyak adik-adik yang proses kuliahnya ‘terhambat’ atau memakan waktu lebih lama dari ‘yang semestinya’—yang society anggap sebagai patokan ideal dan tertanam dalam pikiran mayoritas dari kita sebagai syarat ‘penerimaan’ standar untuk masuk dalam masyarakat.
Sedikit bercerita, foto ini diambil di Tokyo International Forum sembilan tahun lalu. Saat itu saya terpilih menjadi duta perwakilan dari Indonesia dalam sebuah program yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang sebagai bagian dari program COOL JAPAN pada masa itu. Program ini sendiri diadakan setiap tahunnya dengan mengundang insan-insan yang tertarik dengan budaya Jepang dari seluruh negara-negara ASEAN plus India, Australia, dan New Zealand.
Program ini terms and condition setiap tahunnya hampir selalu berbeda. Pada tahun saat saya berpartisipasi, pesertanya tidak dipilih melalui perwakilan institusi seperti tahun-tahun lainnya, melainkan melalu open submission dari seluruh Indonesia. Saat itu saya yang berstatus mahasiswa tingkat akhir bersaing dengan 700 pelamar lain yang kemudian disaring menjadi 19 mahasiswa dari seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Iya, dari tahun ke tahun salah satu syarat yang hampir tidak pernah berubah adalah “peserta harus merupakan mahasiswa aktif”.
Yang nggak semua orang tahu adalah, saya juga termasuk di antara mereka yang masa kuliahnya terhambat. Saya sempat mengambil kuliah manajemen bisnis, namun tidak selesai. Dua tahun kemudian saya mengambil jurusan Sastra Jepang dan lulus dalam empat tahun. Jika ditotal, maka masa perkuliahan saya enam tahun dan bisa dibilang terlambat dua tahun dibanding teman seangkatan.
Program ini sayangnya tidak ada pemberitaannya di kampus saya sama sekali saat itu. Kalau kita nggak proaktif mencari info sendiri maka kita akan tertinggal, dan kalimat “kok lo nggak ngasih tau gue?” atau “kok lo nggak ngajak-ngajak?” terdengar sangat menyebalkan di telinga saya jika datangnya dari kenalan seperkuliahan yang sehari-harinya tidak akrab atau terlihat acuh tak acuh terhadap kehidupan kampusnya. Kita tentunya nggak bisa berharap selalu disuapi dan dijejalkan makanan enak ke mulut kita. Di balik informasi yang didapatkan mungkin saja ada waktu yang terpakai untuk research dan usaha mendatangi event dan institusi untuk mengumpulkan informasi. Di balik teman yang pelit membagi contekan jawaban ujian kanji itu juga mungkin saja ada malam-malam tanpa tidur yang dipenuhi dengan persiapan dan tumpukan kertas A4 yang sudah penuh coret-coretan (walaupun saya sedih juga kalau tidak dibagi contekan, haha). Jika ia sudi membaginya dengan kita, good for us. Namun jika tidak, it’s their choice. We’re stupid enough if we spend time to bicker about it instead of doing our own effort to get whatever we want. Lucunya program ini berlangsung hanya satu minggu sebelum saya wisuda, dan momen ini adalah pertama kalinya saya pergi ke Jepang. Well, life has it’s own timing.
Kalau saya menyelesaikan kuliah manajemen saya mungkin saja kesempatan ini tidak datang. Tidak perlu mengkhawatirkan timing selama kita terus berusaha, berkomitmen, dan bertanggung jawab. Kalau adik-adik menemukan side quest berupa kesempatan menarik selama kuliah dan hati adik-adik bilang ingin mencoba, silakan saja. Banyak di antara teman saya yang kelulusannya mundur karena berbagai kesempatan menarik. Ada yang mengikuti program pertukaran pelajar ke Chiba. Ada yang mencoba magang dan bekerja di Production House karena mengejar passionnya sambil merintis jalan karirnya bahkan sebelum ia lulus. Ada yang menjadi asisten dosen dan diajak research ke luar negeri. Ada juga yang beristirahat di rumah selama satu tahun karena tekanan di kampus. Tidak apa-apa, pada akhirnya ia tetap kembali dan menyelesaikan studinya dengan sukses dan sekarang menjadi guru. Ada juga yang mencoba berbagai proyek dan membangun networking. Apapun itu sah-sah saja, asal bertanggung jawab dengan pilihannya.
After all, ada sangat banyak hal, kesempatan, dan program-program yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang berstatus mahasiswa; pertukaran pelajar ke negara impian, internship di kantor idaman, dan salah satunya program ini yang saya berkesempatan ikuti juga. Kita juga tidak akan pernah tahu dan mengira bahwa orang-orang yang kita temui sepanjang perjalanan kita tersebut yang akan membangun pondasi networking kita di masa depan. Karena sejatinya membangun networking adalah membangun pertemanan yang baik.
Pria Thailand di sebelah kiri ini adalah teman satu tim saya saat program tersebut. Saat program berjalan kami cukup dekat karena kami merupakan sesama fotografer yang juga bisa berbahasa Jepang. Saat itu selain handal memotret, ia juga pandai membuat video dan menyumbang membuatkan video bagi presentasi final untuk tim kami. Saya akhirnya bisa mengunjunginya di Bangkok pada 2017, beberapa tahun setelah program kami usai. Ia kini sudah menjadi salah satu sutradara iklan yang tengah naik daun di Bangkok dan juga youtube vlogger dengan subscriber ratusan ribu. Keren ya.
Wanita di samping saya ini juga merupakan teman satu program saya dari Australia. Saya baru bisa bertemu lagi dengannya pada 2019 di Jepang, haha. Ia dulu adalah wakil ketua tim kami, pandai bernyanyi dan membuat perencanaan. Presentasi final tim kami yang meraih penghargaan sebagai presentasi terbaik juga adalah buah pikirannya. Sekarang ia bekerja sebagai creative content coordinator bagi jaringan event Comic Con internasional. Keren ya.
Masih banyak teman-teman seprogram lainnya yang sekarang semakin menarik jalan hidupnya. Ada teman dari India yang kini menjadi music producer bagi game. Ada teman dari New Zealand yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Kyoto untuk dapat mengembangkan komunitas penyuka budaya Jepang di New Zealand yang katanya cukup banyak jumlahnya. Ada teman dari Kamboja yang merupakan penari tradisional dan sekarang sudah menjadi aktivis bagi Women Empowerment. Ada teman dari Laos yang kini sudah menjadi penyiar radio ternama sekaligus model. Ada teman dari Jakarta yang sekarang jadi manajer di Garuda Indonesia. Rasa-rasanya banyak sekali alasan bagi saya untuk mengunjungi mereka satu-persatu.
Sekali lagi, kita tidak pernah tahu dan tidak selalu bisa menduga ke mana arus kehidupan akan bergulir. Sebuah kesempatan akan bermuara ke mana, sebuah pertemanan akan berevolusi menjadi apa, dan sebuah keputusan kecil bisa saja akan mengubah hidup kita selamanya. Tidak perlu membandingkan timing dan kecepatan kita dengan orang lain. Waktu di Jepang lebih cepat dua jam dari Jakarta, apakah Jakarta kalah atau salah? Tidak. Waktu di London lebih lambat tujuh jam dari Jakarta. Apakah London kalah atau salah? Tidak. Setiap area memiliki time zonenya masing-masing.
Perlu dikunyah dengan baik, tulisan ini tidak bertujuan untuk menyemangati siapapun untuk menunda kelulusan ya. Jika bagi adik-adik lulus secepat mungkin adalah pilihan terbaik—entah dengan alasan apapun seperti tidak mau menunda, punya rencana yang jelas, ataupun tidak mau membebani orang tua secara pikiran dan finansial—ya jalani yang menurut adik-adik pilihan terbaik. Tulisan ini dibuat untuk menyemangati mereka yang merasa kuliahnya terlambat lulus, tidak kunjung selesai, ataupun kebingungan mencari jalan.
Pada akhirnya, ikuti kata hati adik-adik, ambillah komitmen, lalu berdamailah dengan pilihan kita sendiri.
Ayo, kita mulai jalan lagi.
-Biru