Kenapa sih kita harus lapor dan bayar pajak?
Halo Bapak-Bapak semua!
Kenalin saya Ayahnya anak paling cantik dan sosweet sedunia akhirat, Hani. Kebetulan rezekinya saya sekarang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sekarang lagi hangat-hangatnya dibicarakan. Melalui tulisan ini saya mau coba mengajak kita coba melihat kata “PAJAK” dari sudut pandang lain. Oleh karena itu, saya bakal coba lepas seragam “Pegawai Pajak” biar bisa memberikan sudut pandang secara netral dan coba memberikan insight baru kepada Bapak-Bapak dan Adik-Adik semua tentang “PAJAK” berdasarkan pengalaman saya selama ini.
Sebenarnya apa sih pajak itu? Kenapa kita harus punya NPWP, lapor SPT, dan bayar pajak?
Definisi Pajak kalo di Undang-Undang sih sederhananya kontribusi/iuran wajib yang harus diberikan oleh warga negara kepada negara agar negara dapat membiayai berbagai program dan layanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan untuk kesejahteraan warganya.
Pajak memiliki berbagai jenis, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Kendaraan. Kalau kita lihat pajak-pajak itu yang sudah kita bayar, kok nggak kita rasakan langsung timbal balik manfaatnya ya pak. Beda contohnya dengan bayar parkir. Kita bayar parkir tapi kerasa langsung manfaatnya karena mobil/motor kita dijagain tukang parkir. Atau waktu kita bayar iuran untuk sampah bulanan, emang kerasa manfaatnya langsung, sampah kita diberesin tiap 2-3 hari sekali. Saya pun juga ngerasain hal yang sama, penghasilan saya juga dipotong pajak, tapi kok nggak kerasa langsung tuh manfaatnya ke saya.
Tapi ya ternyata begitulah namanya pajak, memang nggak akan kerasa langsung manfaatnya ke kita. Tapi sebenarnya kalau kita coba merenung, hampir seluruh yang ada di sekitar lingkungan kita adalah hasil dari pajak-pajak yang kita berikan ke negara. Anak-anak kita yang sekolah di SD Negeri, ternyata bisa sekolah gratis. Adik saya lagi kuliah di PTN bisa kuliah gratis karena dapat beasiswa. Termasuk saya pun bisa kuliah gratis tanpa bayar sepeserpun dari awal sampai akhir, di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) cuma bermodalkan Rp150ribu buat beli formulir pendaftaran, itu karena pajak yang dibayar Bapak saya dan Bapak-Bapak orang lain di luar sana. Kita juga bisa tenang tinggal di negara Indonesia karena kita tahu Bapak TNI di perbatasan negara ngejagain kita. Mau mudik lebaran, jalan lintas Sumatera langsung bisa jadi bagus dan rata semua (walaupun cuma menjelang lebarang doang hehehe). Awalnya saya juga ga sadar, tapi seiring bertambahnya jumlah kolesterol di badan (baca : nambah tua), baru kebuka pikiran saya Pak.
Kalau kita renungkan, pajak yang dibayar oleh 1 orang setahun misalnya sebesar Rp15juta, gimana kalau ada 1 juta orang lagi yang bayar pajaknya segitu. Itu baru orang Pak... gimana kalau ada 1 juta perusahaan juga yang bayarnya segitu. Udah kekumpul berapa rupiah itu? Itu baru bayarnya Rp15juta, bisa lebih besar lagi kan ya... Dengan gerakan berjamaah begini pasti harusnya bakalan banyak yang bisa dibangun. Tapi ya balik lagi keadaan di Indonesia ya pak, harusnya bisa lebih maju pembangunannya dari keadaan yang sekarang. Masih banyak oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, udang di balik bakwan, lempar batu sembunyi tangan. Tapi saya juga yakin masih banyak kok orang-orang baik di negeri ini, cuma nggak diangkat media aja.
Ada yang bilang, “tapi saya nggak mau pak bayar pajak, soalnya ga kerasa langsung di saya manfaatnya, saya mau bayar zakat aja”. Ternyata setelah saya kerja di DJP, saya juga baru tahu ternyata zakat bisa menjadi pengurang pajak yang harus kita bayar. Misalnya ada 1 orang yang harus bayar pajak PPh-nya Rp5juta, terus dia amanahin uang Rp5juta semuanya ke Badan Amil Zakat biar disalurin langsung ke orang-orang yang membutuhkan, maka di laporan SPT-nya nanti nggak ada pajak yang mesti dia bayar alias NIHIL akhirnya karena dia sudah ikut serta langsung ngebantu negara melalui zakat.
Akhirnya saya sadar, saya sebagai warga negara nih pak, bukan sebagai “pegawai pajak”, sangat membantu negara dalam banyak hal melalui pajak dan zakat yang saya berikan. Sebenarnya negara dibangun dan dijalankan dari sumbangsih warga negaranya karena dari mana lagi negara bisa berjalan kalau bukan dari sumbangsih kita sebagai warga negara. Apapun bentuk sumbangsihnya, mau dalam bentuk pajak, zakat, iuran, keringat, perjuangan, atau lain-lain. Walaupun…. masih banyak oknum pengelola negara yang masih “suka makan bakwan udang” tadi. Tapi biarlah itu menjadi pertanggungjawaban mereka di hadapan warga negara Indonesia di Mahkamah Tertinggi nanti, toh kita pun juga akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang sudah kita lakukan dan berikan kepada negara dan masyarakat kan.
Jadi saya pingin mengajak kita sadar seberapa berharganya sumbangsih kita ke negara. Kalau saya sih nggak mau ikut #STOPBayarPajak karena yang rugi bukan hanya kita, tapi orang-orang sekitar kita, anak-anak kita, anak-anak orang lain, generasi penerus kita. Toh kalau nggak bayar pajak, ujung-ujungnya kita juga yang dikenakan sanksi. Jangan hiraukan oknum-oknum yang menyelewengkan pajak yang sudah kita berikan. Lebih baik kita awasi bersama agar pengelolaan dan penggunaan pajak yang sudah kita berikan, bisa tepat sasaran untuk pembangunan Indonesia.
Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat ya pak. Next article, kita bakal coba belajar bagaimana sih cara pelaporan SPT yang benar terutama buat Bapak-Bapak yang punya usaha atau penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja. Kita juga bakal coba berikan edukasi tentang pembukuan/pencatatan penghasilan terkait regulasi perpajakan, atau apapun itu kebutuhan Bapak-Bapak dan Adik-Adik semua terkait perpajakan. Dan saya bukan buzzer ya pak. Semua saya tulis berdasarkan kegemaran dan ketertarikan saya menulis dan untuk memberikan sumbangsih buat masyarakat.
Akhir kata...... "Pajak itu seperti cinta, terkadang pahit tetapi tetap harus dijalani”
Terima kasih, semoga Bapak-Bapak semua jadi orang kaya dan sukses yaa!