Menulis merupakan salah satu dari sekian kegiatan yang bisa dijadikan hobi. Masalahnya, terkadang kita mengalami kesulitan untuk mulai membangun kebiasaan baik tersebut. Padahal, sedari kecil, barangkali sejak sebelum masuk sekolah, sudah melakukannya. Coba deh ingat ketika masih bocah. Tangan kita gatal betul menulis di sana-sini. Dari sekedar melakukannya di kertas kosong, koran, sampai tembok rumah pun menjadi korban. Ketika beranjak dewasa, malah kebingungan. Nah, saya coba sharing nih bagaimana kembali membangun aktivitas menulis.
Pertama, sediakan sarana menulis yang mudah ditemui.
Zaman sekarang, menulis menjadi mudah. Dari ponsel pun bisa dilakukan. Pasti saat ini perangkat komunikasi sudah menyediakan aplikasi notes. Kita bisa memakainya sebagai sarana menulis. Atau, dapat juga pakai aplikasi lain. Kalau saya biasa menulis di google docs. Mungkin soal kenyamanan dalam menggunakan aplikasi tersebut daripada notes bawaan henpon. Juga, bisa lebih gercep kalau mau menulis. Tinggal ambil hape, klik aplikasi, dan saya bisa melakukan di mana saja. Bayangkan kalau menggunakan laptop atau komputer. Kegiatan menulis lebih terbatas. Dengan menggunakan sarana menulis yang mudah ditemui, jadi lebih sering mengingat kalau sedang membangun kegiatan ini. Sehingga, potensi terus melakukannya lebih besar. Sebabnya, sarana menulis dekat dengan kita. Selesai atau tidak sebuah tulisan, cuma masalah waktu.
Kedua, bagi waktu
Maksudnya jika nggak bisa menyelesaikan sebuah tulisan dengan sekali jalan, maka, dibagi saja waktu menulisnya. Untuk membangun perilaku baru, dalam konteks ini: menulis, memang nggak pernah mudah. Sependek ingatan saya, perilaku baru, terlepas baik atau tidak, baru menjadi kebiasaan dengan rata-rata melakukannya selama durasi tiga bulan. Rata-rata, ya, berarti bisa juga lebih cepat atau lambat. Nah, dalam mengembangkan sebuah perilaku baik, kadang ada saja hambatannya. Misalkan, soal waktu. Kita bisa menulis ditengah kesibukan. Misalkan, ada waktu luang pada pagi hari jam sembilan, dan baru ada kesempatan melakukannya saat sore atau malam. Kita gunakan waktu-waktu tersebut untuk menulis. Sekian kata di saat tertentu dan dilanjutkan di waktu yang lain. Hal yang terpenting, jangan terlalu lama berhenti. Kalau tidak, akan lebih sulit lagi untuk membangunnya kembali. Juga, kalau satu tulisan belum tuntas, jangan menulis hal yang lain dulu. Nanti yang ada malah pusing sendiri.
Ketiga, cari dan kembangkan suatu ide
Nah, kalau sudah menentukan sarana menulis yang digunakan, dan waktu dalam melaksanakannya, berarti tinggal eksekusi. Pertanyaannya, “Apa yang ingin ditulis?” Semua bermula dari ide.
Ide berarti gagasan. Bisa juga dibilang inti dari pemikiran yang akan disampaikan kepada pembaca. Kalau disuruh mencari ide, nggak jarang kita diserang rasa seram. “Kayaknya berat banget”, mungkin itu alasannya. Sebenarnya sih, nggak gitu-gitu amat. Paling gampang, kita menulis apa saja yang kita mau (tulis). Dari sana, sebuah ide bisa muncul.
Misal, ya, kita lagi sedih banget. Kesedihan bisa dijadikan ide tulisan. Selanjutnya, tinggal di deskripsikan tentang kesedihan yang sedang dirasakan. Kalau nggak bisa menulis secara terstruktur, tidak perlu dijadikan hambatan. Menulislah secara bebas. Siapa tahu setelah menulis, timbul rasa lega. Yah, dalam kasus saya, sih, yang ada malah kesedihan menjadi-jadi. Namun nggak mengapa. Setidaknya, saya bisa memahami sebuah bentuk kesedihan yang dirasakan akibat suatu hal. Jadi mengenal diri sendiri. Padahal niat awal cuma mencari dan mengembangkan suatu ide, malah mendapatkan suatu hal positif tentang diri sendiri. Contoh lain, bisa mencari ide yang menjadi dasar tulisan dari suatu hal yang dekat dengan kita. Barangkali dari profesi, hobi, pengalaman, dan seterusnya. Namanya juga baru memulai membangun kebiasaan menulis, nggak perlu deh menulis hal-hal yang ribet dan barangkali diluar kemampuan dan kehidupan kita.
Soal membuat outline atau kerangka tulisan, atau mungkin juga menentukan sudut pandang (angle) tulisan, bisa dipelajari lebih dulu atau sambil 'jalan' alias learning by doing saat mengembangkan kebiasaan menulis. Cara mana yang dipilih, depend on diri kita saja. Kalau saya pada mulanya, memilih metode yang nyaman buat diri sendiri. Learning by doing menjadi pilihan. Karena kalau dipelajari lebih dulu, yang terjadi datangnya hambatan baru. Keasyikan belajar justru aktivitas menulis sempat terhenti. Ujungnya, malah sibuk mempelajari metode kepenulisan daripada mengeksekusinya.
Dalam tahap ketiga, melakukan sebuah riset yang dijadikan penguat ide, bagi saya, opsional. Boleh dilakukan boleh juga tidak. Memang, nggak semua tulisan yang dibuat, adalah informasi yang berat. Namun saya merekomendasikan untuk dilakukan. Biar lebih dalam gitu tulisan yang dihasilkan nantinya.
Bahkan, saat saya menuliskan cerita karangan, yang tadinya mau dijadikan sebagai sumber dari cerita yang akan dibawakan pada sebuah pementasan teater, dalam acara pembukaan Taman Ismail Marzuki yang terbaru tahun lalu, saya pun melakukan riset. Seperti riset sejarah (kebetulan menyinggung hal tersebut, tentang kejadian yang pernah terjadi di Jakarta), bahkan hal 'sepele' seperti profesi dan bagaimana kehidupan tokoh utama. Saya pun juga melakukan wawancara kecil-kecilan ketika joging pagi dan kebetulan ada yang menarik perhatian: tentang kehidupan seseorang yang berprofesi sebagai pemahat batu nisan. Sebelum saya mengobrak-abrik sebuah kenyataan sejarah dan kehidupan seseorang menjadi kisah fiksi. Namun, yah, karena nggak pede-pede amat, niat mengirimkan naskah nggak terlaksana. Namun, berangkat dari pengalaman ini, kemampuan menulis fiksi menjadi lebih baik. Saya pun berniat, tulisan karangan yang sedang dikerjakan, akan dikirimkan ke penerbit saat sudah selesai nanti.
Tips lain yang bisa saya berikan, kebetulan sekitar dua tahun lalu, saya sempat mengikuti pelatihan online Teknik Menulis untuk Pemula, yang diadakan Tempo Institute, dibawakan oleh Moerat Sitompul. Ada sepuluh kriteria yang layak dijadikan tulisan, yaitu:
(1) Aktual, yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan orang banyak.
(2) Menyangkut tokoh penting/figur masyarakat.
(3) Kedekatan/proximity.
(4) Relevansi, menyangkut kepentingan masyarakat.
(5) Magnitude, ini tentang skala besar-kecilnya masalah yang diangkat dalam sebuah tulisan.
(6) Tren-nya suatu fenomena.
(7) Eksklusivitas, mengabarkan informasi eksklusif, nggak semua orang memiliki akses mendapatkan informasi yang akan diangkat.
(8) Dramatis, adanya sebuah kejadian yang bikin baper.
(9) Human interest, mengangkat suatu kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan.
(10) Unik: nggak lazim alias jarang terjadi.
Barangkali, dari sepuluh poin tersebut semakin bisa dalam mencari dan mengembangkan ide sebuah tulisan. Bisa memilih salah satu atau kombinasikan beberapa diantaranya.
Tips terakhir, yaitu keempat, revisi
Setelah menulis, jangan lupa untuk melakukan penyuntingan naskah. Saya merekomendasikan kegiatan ini dilakukan setelah sebuah tulisan berhasil dibuat tuntas. Kalau misalkan baru setengah jalan dan sudah melakukan revisi, yang biasa terjadi malah sibuk menyunting naskah. Tulisan nggak maju-maju. Ada saja yang terlihat kurang. Jadi, lebih baik selesaikan dulu, barulah lakukan revisi. Intinya, kita adalah penulis bukan editor. Tugas kita lebih banyak untuk menulis bukan menyunting. Dalam praktiknya, cukuplah mengedit naskah tiga kali sebelum menjalankan niat untuk mengirimkan tulisan, barangkali begitu, ya. Paling tidak, hasil penyuntingan yang kita lakukan, membuat tulisan menjadi lebih terstruktur dan enak dibaca oleh orang lain. Nanti, biarkan editor melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Terakhir, kalau tulisan sudah jadi dan enak dibaca, bisa disebar atau di diamkan begitu saja. Bebas. Terserah. Kalau ada niat menyebarkan tulisan, sekarang pun sudah banyak platform kepenulisan, baik yang bersifat gratisan atau nanti kita diberikan honor. Mau langsung kirim, boleh. Namun, saya merekomendasikan kita mempelajari dahulu tipe tulisan yang biasa dimuat oleh suatu platform. Agar kemungkinan ditayangkan lebih tinggi. Setiap platform punya masalah khusus yang diangkat oleh mereka. Pun juga gaya kepenulisan yang digunakan seorang penulis dipertimbangkan. Tentu saja semua bermula saat seseorang mulai dan mengembangkan aktivitas menulis. Jadi, kapan memulainya? Suatu hari nanti? It's okay, tapi mengapa tidak hari ini dilakukan?