Membaca merupakan salah satu kegiatan positif. Ada tapinya, nih. Bagi segelintir orang, manfaat hanya didapat dari membaca karya-karya nonfiksi. Sementara menghabiskan waktu menyelesaikan bacaan sarat imajinasi merupakan kegiatan sia-sia. Bagi penghobi membaca karya fiksi, pasti pernah mendapatkan komentar kurang menyenangkan. Muncul pertanyaan, “Apakah membaca karya fiksi sama sekali tak punya manfaat?”
Sebelumnya, kita mesti tahu dulu pengertian karya fiksi. Karya merupakan hasil cipta, sementara fiksi adalah rekaan. Jadi, karya fiksi dapat dipahami sebagai suatu hasil karangan seseorang. Adapun bentuknya beragam. Jika berupa tulisan, maka berbentuk novel, novelet, cerpen, dan lain sebagainya.
Terdapat pendapat menarik yang dikemukakan oleh tokoh Psikologi bernama Alfred Adler. Dalam buku Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia, baginya fiksi merupakan kebenaran kecil. Buat saya, ini masuk akal. Juga, saya dapat memastikan setiap karya fiksi, dalam bentuk tulisan misalkan, punya suatu kebenaran yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Biarpun kecil, tetaplah sebuah kebenaran.
Misal, dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, menyimpan suatu kebenaran: tentang kejahatan kemanusiaan. Novel Kejahatan dan Hukuman karya Fyodor Dostoevsky, penulis asal Rusia, menjelaskan secara mendetail mengenai proses hukuman telah dilaksanakan ketika seseorang baru saja selesai melakukan kriminalitas untuk pertama kalinya. Membuat otak tidak waras dan mempengaruhi cara bersikap kepada diri sendiri maupun orang lain. Contoh lain, Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka. Suatu kebosanan sangat mampu mengubah manusia menjadi sinting. Nah, sekarang coba deh, mulai mengingat-ingat berbagai karya fiksi yang pernah kamu baca. Pasti ada satu-dua hal kebenaran yang masih dipegang hingga saat ini. Atau jangan-jangan sudah menjadi sikap.
Bisa jadi, karena kebenaran yang didapatkan ketika membaca karya fiksi dianggap kecil jika dibandingkan dengan membaca karya ilmiah, maka tak perlu heran, terdapat segelintir orang yang antipati dengan kegiatan membaca karya fiksi. Bahkan, tak jarang memberikan komentar negatif. Asumsi saya didasarkan pada proses membaca tidak sebanding dengan hasil kebenaran yang didapatkan. Cuma kecil atau sedikit. Lebih banyak membuang waktu!
Ibu pernah mengomentari kebiasaan saya yang satu ini saat baru membangun kegiatan membaca. “Aduh, le, le, kalau punya duit mbok yang dibeli tuh buku sekolah, bukan cerita-cerita unyil kayak gini.” Mengingatnya bikin tertawa. Apalagi ketika ibu masuk ke kamar saya dan yang terlihat di meja belajar lebih banyak tumpukan komik dan novel daripada buku pelajaran. Jengkel banget dia. Barangkali di masa sekarang masih bisa ditemukan ibu-ibu macam kepunyaan saya.
Saya pikir, pemikiran semacam itu berdasarkan dari perjalanan hidup orang tua yang sulit sekali mendapatkan kesempatan bersekolah. Biarpun sekolah, dalam kasus ibu saya, harus membagi waktu. Harus ngarit, mengurusi dapur bergantian, mengurus adik-adiknya, membantu orang tua berjualan, dan sebagainya. Dalam waktu yang sesempit itu, mesti betul-betul memanfaatkan waktu tersisa untuk belajar. Melihat hal ini, saya memaklumi betapa kerasnya beliau meminta anak-anaknya untuk belajar atau sekedar lebih banyak membaca buku-buku sekolah.
Biar begitu, saya pun juga pernah sama jengkelnya dengan respon ibu. Munculnya pemikiran buruk dalam diri tidak bisa disangkal pada waktu itu. “Apa ibu tidak sadar, memberikan pendapat demikian, sangat mungkin menurunkan keinginan membaca anak?”
Karena begini, saya bukan anak yang langsung menyukai membaca buku nonfiksi. Bawaannya bikin ngantuk. Berbeda sekali ketika melahap fiksi. Selalu semangat sampai akhir halaman. Bahkan, begadang pun dijabanin. Seiring berjalannya waktu, entah karena bosan atau faktor lain yang tidak bisa dipastikan, saya memulai membaca buku nonfiksi. Pada mulanya ensiklopedia, berlanjut biografi tokoh, beberapa buku pelajaran yang saya anggap menarik, dan sebagainya. Bisa dikatakan, manfaat pertama yang didapatkan membaca buku fiksi, mampu mengantarkan saya untuk membaca buku yang lebih serius.
Nah, bapak2, ibu2, saya punya pesan nih. Kalau anak-anak bapak dan ibu lagi demen banget membaca karya fiksi, tapi nggak mampu memberikan komentar baik, ya, biarkan saja dulu si anak tenggelam dalam lautan kalimat-kalimat fiksi. Anggap saja kegiatan ini sebagai langkah awal. Memang, tetap diperhatikan juga rating buku yang dibaca anak-anak ya, meskipun fiksi. Jangan sampai, mereka membaca sesuatu yang umurnya belum cukup. Perihal rating nggak melulu berbau stensilan tetapi juga kekerasan, dan hal buruk yang belum boleh diketahui.
Pokoknya, anak bapak dan ibu jangan sampe dapet kejadian kayak saya dah waktu kelas enam SD. Iseng-iseng buka buku tipis di pos ronda. Rupanya cerita stensilan. Bikin kaget setengah mati. Refleks, saya buang tuh buku jahanam di got depan pos. Terus saya kepoin daftar pasukan ronda semalem. Sekedar iseng nebak-nebak siapa laki-laki yang habis baca gituan. Untung bukan giliran bapak saya yang ngeronda.
Bisa juga bapak2 dan ibu2 meminta anak menceritakan kembali apa yang mereka baca. Selain melatih kemampuan anak dalam mengingat informasi yang didapatkan, mereka belajar berkomunikasi dengan orang lain. Mungkin jika dirasa sudah mampu, bisa ditanyakan insight yang didapatkan oleh mereka.
Manfaat lain yang dirasakan, mampu menarik minat suatu bidang. Dulu tuh, saya demen banget baca komik tentang memasak. Cooking Master Boy kalau tidak salah ingat. Sempat bercita-cita juga menjadi koki yang andal. Nggak terlalu meleset dengan keinginan masa TK: menjadi tukang buah. Memang sih, saat sudah bangkotan gini, kedua cita-cita tersebut kandas. Namun, saya jadi punya kemampuan memasak. Biar nggak ahli banget tetaplah sebuah skill yang membanggakan buat saya. Apalagi zaman bocah, sering ditinggal ibu dan bapak sampai berminggu-minggu demi menuntaskan masalah keduniawian. Akhirnya buat saya, perkara ke pasar sampai memasak, merupakan masalah sepele. Lumayan, sedikit-sedikit mampu mengurusi dapur berawal dari baca komik.
Perlu diketahui, karya fiksi selalu memuat dua cerita. Pertama, keseruan. Singkatnya tentang bagaimana perjalanan tokoh utama mencapai keinginannya. Keseruan juga dipengaruhi oleh nuansa yang digunakan oleh pembuat karya. Bisa thriller, suspense, komedi, romansa, dan berbagai nuansa lain.
Kedua, bisa dikatakan sebagai cerita sebenarnya. Karena memuat tujuan internal, pelajaran hidup, atau mudahnya, hikmah yang dicari oleh tokoh utama, yang ternyata bersifat universal dan manusiawi. Mungkin berupa pengampunan pada diri sendiri dan orang lain, cinta antar-sesama, penerimaan realita, belajar yakin dengan diri sendiri, menaklukan ketakutan sambil menumbuhkan rasa keberanian, mempertahankan asa, melakukan pengorbanan, sampai penebusan: mengakui kesalahan, penyesalan, hingga menjalankan aksi keselamatan untuk diri dan/atau orang lain. Bagi saya, inilah manfaat terbanyak dari membaca kisah fiksi.
Membaca buku mampu memberikan manfaat bagi pembaca. Tak terkecuali karya fiksi. Memang, membaca karya nonfiksi tidak boleh dilupakan. Jika buku sarat imajinasi diharapkan akan menumbuhkan rasa manusiawi dalam diri pembaca, maka nonfiksi lebih mengedepankan pada sisi logis. Kedua aspek tersebut sama-sama dibutuhkan manusia.
Dan yang lebih penting, yuk, mulai luangkan waktu untuk membaca. Buku apa pun jangan cuma berakhir menjadi pajangan saja. Siapa tahu, kamu menemukan hal menarik dan bermanfaat ketika melakukannya. Tahun lalu, saya menghabiskan 26 buku. Kamu berapa?